Selasa, 17 Februari 2015

Beruang Somalia



...setelah berabad2 tidak ngepost, aku mulai ngpost lagi, mungkin kalau dilihat dari cara penulisan bakalan banyak yang berubah. karna dulu waktu aku ngepost aku masih duduk di bangku SMP yang mana aku masih alay sekali. kini aku sudah masuk kelas 12 SMA, dimana tingkat ke alay-an sudah berkurang sedikit demi sedikit. post kali ini sebenarnya cuma mau upload karya cerpen buat ujian praktik aja..



            Tak terasa aku sudah duduk di kelas 12 SMA, dan setiap hari aku selalu mengahabiskan hari-hariku dengan kegiatan yang begitu-begitu saja, hidup di kota kecil seperti Wonogiri memang damai dan menyenangkan. Namun
di kota kecil ini kurang akan tempat untuk bertamasya, setiap pulang sekolah aku selalu bermain video game. Aku lagi senang-senangnya main game Pro Evolution Soccer 2015. Karena main game terus aku selalu di marahi oleh mamaku.
            Mama memiliki rambut bergelombang, kulit putih, dan tubuh yang sedikit gemuk, saat di rumah mama lebih senang menghabiskan waktu untuk memasak dan berkebun, mama memiliki banyak sekali jenis tanaman di halaman rumah.
            “Sabo! kamu ini setiap hari main game terus? Cari kegiatan lagi sana!”
            “Tapi mau ngapain ma? Aku bingung.” jawabku dengan tenang.
            Disela-sela percakapan kami ini tiba-tiba ayah datang, ayah memotong pembicaraan kami, lalu seolah ide datang begitu saja dari udara, ayah berseru mantap “kita main layangan!”
            Ayah memiliki sorot mata tajam, kebanyakan teman-temanku takut saat melihat sorot matanya, ayah sangat menyukai ikan, di rumah kami memiliki banyak jenis-jenis ikan, mulai dari ikan air tawar, air laut, dan air payau semua ada disini. Rumah lebih terlihat seperti penangkaran ikan dan perkebunan.
            “Boleh deh yah, kayaknya di gudang masih ada layangan yang dulu pernah aku beli,”
            “Oke, ayah ambil layangannya, lalu ayah tunggu di teras, kau siap-siap sana!”
            Setelah layangan siap, ayah bergegas menuju teras rumah, sewaktu aku mau menyusulnya, mama tiba-tiba keluar dari kamarnya, dia tanya “kamu mau main layangan?”
            “Iya, emang kenapa ma?”
            “Kamu sudah pakai sunblock belom?” tanya mama.
            Aku menggelengkan kepala. “ma, aku ini anak cowok, mana ada anak cowok main layangan pakai sunblock? Itu cemen banget ma!”
            Belum sempet ngomong apa-apa, mama langsung melumuri badanku dengan sunblock. Dari tangan, ke kaki, lalu ke badan, setelah proses pelumuran ini selesai, aku berlari kencang dan mengadu kepada ayah. Aku bilang “yah, masa mau main layangan doang kata mama harus pake sunblock? Kan cemen banget!”
            “Ya ampun! Ayah lupa belom pake!” kata ayah sambil menepuk kepalanya.
            Akhirnya kami berdua bermain layangan di area Waduk Gajah Mungkur dengan berlumuran sunblock, mungkin dari kejauhan kami terlihat mengkilap dan menyala terang, di tempat ini memiliki ukuran angin yang pas untuk bermain layangan. Saat sedang asik bermain layangan, tiba-tiba dari kejauhan ada yang berteriak memanggil namaku, ternyata itu adalah Viny dan Zoro. Mereka berdua adalah teman sekelasku, bisa dibilang mereka adalah sahabat aku.
           Muhammad Junaedi, atau yang lebih akrab di panggil Zoro, merupakan tipikal anak SMA dengan tubuh preman, kulitnya hitam, badannya tinggi, dia memiliki otot-otot yang besar di kedua tangannya, perutnya pun sixpac, rambut Zoro keriting dan lebat, rambutnya sungguh serbaguna, aku bisa menyembunyikan handphone di dalam rambutnya saat razia handphone di sekolah, dibalik tubuh sangarnya itu Zoro adalah orang yang sangat baik. Namun dia sangat keras kepala dan susah sekali di ajak kompromi.
            Sedangkan Ratu Viny Fitrilya, dia punya dua lesung pipi yang tidak terlalu dalam, poni rambunya dia sisir ke sebelah kanan, yang kadang dia betulkan kalau berjalan terburu-buru. Dia baik, tapi penakut, dia juga pintar matematika. Walaupun cewek tetapi Viny dapat mengeluarkan siulan yang bunyinya indah, seperti suara burung Kutilang pada musim semi. Aku sendiri pernah mencoba untuk besiul seperti Viny, tetapi jadinya malah fals, seperti suara burung Kutilang menjelang ajal.
            “Wah, ternyata teman-temannya Sabo.” kata ayah kepada Zoro dan Viny.
            “Iya om,” jawab Zoro dengan tegas.
            “Sedang apa kalian disini?” tanya ayah pada mereka.
            “Kami mau bermain layangan om,” jawab Zoro
            Mendengar jawaban itu aku langsung terdiam, mungkin Zoro dan Viny juga menglami hal-hal yang hampir serupa dengan apa yang aku alami. Sehingga jalan terakhir mereka adalah bermain layangan.
            “Terus, mana layangannya?” tanyaku.
            “Sudah hilang, tadi kami adu layangannya, eh putus, hilang deh,” jawab Zoro sambil tertawa.
            “Kalian nanti malam tidak ada acara kan? Bagaimana kalau nanti malam kalian datang kerumah, kita makan malam bersama?”
            “Oke om, nanti kami pasti datang!” jawab Viny sambil tersenyum.
            Setelah lewat pukul 5 sore, aku dan ayah langsung pulang, begitu pula dengan Zoro dan Viny. Setelah sampai dirumah aku bercerita dengan mama, kalau temanku akan makan malam disini, aku bilang kalau salah yang mau kesini adalah Zoro dan Viny.
            Selagi memasak, mama nanya “Udah lama ya Zoro sama Viny engga main kesini, Zoro yang item itu kan? Yang keriting? Dulu kan sendok sayur mama pernah hilang, eh taunya ada di dalam rambut kritingnya, terus sekarang Viny bagaimana? Dia sekarang masih cantik apa engga?”
            “Emang kenapa, ma?” tanya ku dengan heran.
            “Kalau sekarang Viny jelek mau mama racunin!” seru mama, lalu tertawa histeris.
            “Ma, kok gitu?”
            “Cuma berjadi kok, kamu punya fotonya yang paling baru engga? Coba dong mama liat,”
            Aku menunjukkan foto Viny yang ada di dalam handphone miliku, diikuti dengan anggukan mama. Tampaknya Viny cukup cantik untuk selamat dari racun mama. Terakhir mereka main kesini adalah sekitar 3 bulan yang lalu, tapi aku rasa 3 bulan bukalan waktu yang bisa membuat wajah seseorang menjadi berbeda.
            Waktu makan malam belum tiba, namun Zoro dan Viny sudah datang, sambil menunggu masakan, kami bertiga berbaring dulu di balkon lantai 2 rumahku. Malam ini tak cukup dingin kami bertiga berbaring bersama, angin yang sejuk menghembus ke arah kami.
Sambil tiduran Zoro berkata “Rasanya kayak di Miami, ya?”
            “Iya,” jawab ku.
            “iya,” kata Viny.
            Kami bertiga tidak ada yang pernah ke Miami. Kemudian terjadi hening panjang..
            Acara makan malam bersama telah tiba, mama memasak banyak sekali masakan, namun hanya ada aku, mama, Zoro dan Viny saja, ayah ada urusan mendadak beberapa menit lalu dengan teman sekantornya. Hanya aku, Zoro dan Viny yang makan, mama tidak ikut makan karena sedang diet. Kami bertiga benar benar merasa sangat kenyang.
            “Ayo, ayo ini ayam pangganya masih, Zoro sama Viny tidak usah malu, ayo makan saja!” kata mama penuh semangat.
            “Tapi tante, kami sudah kenyang sekali,” seru Zoro.
            “Habiskan saja, habiskan, nak!” kata mama dengan tatapan mata kosong, seakan-akan mempersiapkan mereka untuk disembelih nanti malam.
            Setalah makan malah selesai, kami bertiga naik ke lantai 2, menuju kamarku. Di dalam kamar Zoro bercerita. “Kemarin aku di jahilin sama anak-anak kompleks sebelah, mereka nyerang aku pake petasan cabe” kata Zoro dengan pelan.
            “Kamu salah apa sama mereka?” tanyaku pada Zoro.
            “Aku juga tidak tahu, tapi bagaimana jika kita balas mereka?” seru Zoro.
            “Aku cewek nih, aku takut main petasan,” kata Viny sedikit ketakutan.
            “Engga usah takut Vin, kan ada aku sama Sabo,” kata Zoro dengan mantap.
            Akhirnya hari penyerang itu tiba, kami sudah membeli petasan cabe dalam jumlah banyak. Kami siap menyerang anak kompleks sebelah. Untuk pemanasan kami mencoba menyalakan satu petasan cabe. Dari balik semak petasan cabe terbang meroket ke arah mbak-mbak yang tidak tau apa-apa, petasan itu meledak di dekat kakinya.
            “AAAAHHHH!!!!!” Si mbak teriak sambil loncat-loncat. Kami kewata sampai engga bisa napas. Kami langsung melarikan diri, setelah situasi aman, kami melakukan tos-tosan.
            “Hahaha, kalian liat mukanya mbak-mbak tadi engga? Mukanya kayak lagi mau ngelahirin ya?!” seru Zoro sambil tertawa.
            “Hahaha, iya, bener!” seru ku.
            “Hahaha, iya bener-bener kayak lagi mau ngelahirin!” kata Viny.
            Dan kami bertiga gak ada yang pernah liat muka orang yang lagi ngelahirin. Pertualangan kembali kami lanjutkan. Kami telah sampai ke kompleks sebelah dimana anak-anak yang menjahili Zoro berada. “Itu mereka, 5 orang yang lagi di depan rumah cat kuning,” kata Zoro.
            Zoro langsung melempar petasan cabe ke arah mereka dari tempat persembuyian kami, petasan cabe itu meledak di dekat mereka. Mereka semua menjerit karena kaget. Salah satu anak berwajah tua untuk muka anak SMA maju sambil berteriak “WOI! SIAPA ITU WOI!”
            “APE LU WOI!” Zoro berteriak dan keluar dari tempat persembunyian kami.
            “APE LU WOI!” seru salah satu dari mereka.
            “APE LU WOI! Sahutku, ikut-ikutan aja biar terlihat gentleman.
            Selama 5 menit kami pun berteriak ganti-gantian “APE LU WOI!”. Masing masing mencoba lebih keras dari yang lainnya sambil pelan pelan jalan mundur. Ya, anak SMA kalau berantem emang bisanya cuma begini.
Karena merasa persiapan kami kurang matang, kami bertiga memutuskan kembali dan menyerang lagi besok. Kami berlari sangat kencang, tetapi tiba-tiba sebuah botol yang di bawa oleh Viny jatuh lalu menghilang. Karena jatuhnya botol itu Viny jadi menangis.
            “Kamu kenapa kok nangis?” tanya ku. Sedangkan Zoro sudah lari duluan meninggalkan kami.
            “Itu botol yang jatuh tadi, sama kakekku udah di isi malaikat buat menjaga aku,” kata Viny yang sedang menangis sambil memegang jaketku dengan erat.
            “Malaikat? Yang bener kamu?” tanya ku heran.
            Tanpa sempat menjawab perntanyaanku, Viny langsung mengajakku berlari untuk pulang dia benar-benar ketakutan. Aku jadi merasa kasian sama dia, seharusnya cewek tidak perlu ikutan dalam perang pertasan cabe ini.
            Keesokan Harinya, sebelum kami menyerang lagi, saat aku mau berangkat mama sempat tanya sama aku “Kemarin ada anak-anak seumuran kamu gitu, malem-malem main petasan, kamu tahu siapa mereka?”
            “Petasan? Uhh, engga tahu aku ma,” kataku.
            “Kamu jangan ikut-ikutan main petasan ya! kamu tahu nggak main petasan bisa bikin tangan kamu putus, kalau kamu ikut-ikutan main petasan gitu, terus tangan kamu putus, kan serem, nanti kamu engga bisa main video game kesukaan kamu lagi lho!” kata mama.
            Agak aneh juga sih, kalau misalkan tanganku putus karena petasan terus hal pertama yang aku ucapkan adalah “yah, engga bisa main video game lagi deh.” Perkataan mama terus terbayang di kepalaku. Akhirnya aku putuskan tidak main petasan lagi.
            Kami bertiga berkumpul di rumah Zoro, aku menggukan jaket yang kemarin aku pakai, Zoro menggunakan kaos yang nampak kebesaran, sedangkan Viny menggukan kaos berlengan panjang.
            “Lho, mana petasannya?” Tanya Zoro pada Viny yang datang tidak membawa apa-apa.
            “Duit aku habis buat beli buku,” jawab Viny.
            “Ya sudah, terus kamu kok engga bawa apa-apa juga?” tanya Zoro padaku.
            “Jadi gini, aku dimarahin mama, kemarin aku iseng mau bangunin ayah aku pagi-pagi pake petasan, terus aku nyalain aja petasan cabenya di dalem rumah. Petasannya medelak, aku di marah-marahin, semua petasan disita,” jawabku dengan tenang, yang sebenarnya aku berbohong.
            “Kamu bodoh apa kurang gizi, sih?” kata Zoro dengan raut wajah sebal.
            “Kami tetep ikutan kamu buat nyerang mereka kok, tenang aja, tapi kamu didepan duluan, aku sama Sabo di belakang,” kata Viny kalem.
            Tanpa berkata apa-apa kami bertiga langsung berangkat ke medan perang petasan cabe. Ditengah-tengah perjalanan aku berbisik-bisik dengan Viny.
            “Vin, jangan bilang Zoro ya, sebenernya tadi aku bohong,”
            Viny tertawa kecil. “Ya iyalah, mana mungkin kamu sebodoh itu nyalain petasan di dalam rumah.”
            “Aku emang nyalain di dalam rumah. Tapi bukan buat bangunin ayahku, ya cuma biar petasannya habis aja.”
            “Aku merasa semua cowok yang aku temui dalam hidup ini jelek dan bodoh.” kata Viny.
            “Hah? Termasuk aku juga dong?”
            “Terutama kamu!” kata Viny sambil ketawa kecil.
            Akhirnya kami bertiga sampai di tempat perang petasan cabe. Hanya Zoro yang terus-terusan beraksi, Zoro maju di garis depan, meyalakan petasan cabe yang dia bawa, dia melempar ke arah anak berwajah tua itu dan berhasil meledak di dekat kaki anak muka tua itu, sedangkan aku berada di belakang Zoro dan Viny hanya menonton saja. Walapun menggunakan kaos berlengan panjang Viny terlihat menggigil kedinginan, sepontan aku langsung melepas jaketku dan menyuruh Viny memakainya, tubuh Viny tiba-tiba menjadi panas.
            “Zoro gawat, badan Viny panas banget ini!” seruku pada Zoro.
            “Hah!? Kok bisa? ya sudah bawa dia pulang aja, sebelum dia makin parah, aku bisa urusin mereka sendiri, lagi pula si muka tua sudah berhasil aku kalahkan,” kata Zoro dengan panik.
            Aku dan Zoro sangat panik dengan keadaan Viny, suhu tubuhnya panas, namun dia bilang dia merasa kedinginan. Aku langsung saja menggendong Viny dan bergegas menuju rumahnya. Sementara itu Zoro masih melempari anak-anak kompleks sebelah itu dengan harapan kami tidak terkena petasan cabe mereka.
Saat aku berlari sudah cukup jauh, aku menoleh ke belakang, Zoro terlihat kuwalahan melawan 4 orang anak sendirian. Duauuaarrrrrrrr!! aku melihat sebuah petasan cabe meledak di dekat Zoro. Aku ingin menolongnya namun aku tidak bisa meninggalkan Viny begitu saja.
            Zoro terlihat berjuang mati-matian malam itu, seolah-olah dia menjadi pahlawan yang melindungi kami dari serangan musuh.
            Tiga hari berlalu setelah kejadian malam itu, dimana badan Viny jadi panas dan membuat aku dan Zoro sangat khawatir, aku berhasil membawa Viny kerumah karena pengorbanan Zoro. Hari ini aku pergi ke rumah Viny untuk menjenguk dia. Sebelum kerumahnya aku mampir ke Minimarket 78, aku membeli beberapa roti, dan buah-buahan untuk Viny.
            “Totalnya Rp.22.000,00- pak!” kata seorang mbak-mbak kasir.
Aku agak kaget dipanggil “Bapak” karena umurku masih 17 tahun. Ya sudahlah, aku pun membayar dengan uang pas. Saat aku akan keluar, tiba-tiba mbaknya manggil aku, “Pak, ini Rotinya ketinggalan satu!”
            “UDAH MBAK KAMU AMBIL AJA ROTINYA!!” kataku kesel karena di panggil “pak” lagi. Lalu aku keluar Minimarket 78 sambil berkata “DAN AKU MASIH 17 TAHUN MBAK, JANGAN PANGGIL AKU BAPAK!!!!!!!” kataku dengan kencang.
            Sampai di rumah Viny kami ngobrol di dalam kamarnya, keadaan Viny sudah membaik, dan besok sudah bisa masuk sekolah lagi. “Oh iya, Kamu udah dengar kabar dari Zoro belum?” Kataku.
            “Sudah, aku dengar tangannya terkena luka bakar dari petasan cabe, kita bisa aja kayak gitu kan?” kata Viny.
            “Iya, untung waktu itu kita pulang gara-gara badanmu yang tiba-tiba panas.”
            “Hahaha, badan panas malah bawa berkah ya, kita jadi engga kena petasan cabe!” kata Viny sambil tertawa.
            “Iya sih, tapi engga gitu juga kali, Zoro kan sudah melindungi kita kan?” kataku.
Dengan muka yang sedikit lesu Viny bilang sesuatu kepadaku “Oh iya, aku lagi sedih ini, jaket yang kamu pinjamkan ke aku, waktu malam itu hilang, aku suka banget sama jaket itu, berkat jaketmu, badanku tidak terasa kedinginan pas malam itu.
            “Hilang ya? Ya sudah engga apa-apa, yang penting kan kamu engga kenapa-napa,” jawabku.
            “Maaf banget ya,” kata Viny lesu.
            “Iya engga apa-apa kok,” kataku pelan.
            “kamu ingat sama botolku yang aku dulu bilang kalau isinya ada mailakat buat menjaga aku?” tanya Viny padaku.
            “Hmm... Botol yang hilang itu? Iya aku ingat, kenapa emang?” jawabku.
            “Jaketmu itu jadi penggantinya, kamu jadi semacam malaikat buat aku, kamu ngerti kan?” kata Viny sambil tersenyum.
            Aku ikut terseyum dan kami berdua tertawa bersama-sama. “Bagaimana kalau besok sepulang sekolah kita ke rumah Zoro? kita jenguk dia, tangan Zoro terluka karena kita juga kan?”
            “Iya aku setuju, lagian kita bertiga udah berteman sejak masih kecil, dari kelas 1 SD sampai sekarang kita satu sekolah terus, bahkan kita satu kelas terus juga.” kata Viny kepadaku sambil memakan roti yang aku bawakan tadi.
            “Oke sip!” tapi besok enaknya kita bawan apa ya untuk Zoro?”
            “Kita bawakan celiman dan buah-buahan saja, seperti yang kamu bawakan buatku!” jawab Viny penuh semangat.
            “Oke tapi kita jangan beli di Minimarket 78 ya!” seruku.
            “ Lho, memangnya kenapa?” tanya Viny dengan wajah heran.
            “Masa aku di panggil “pak” sama mbak-mbak kasir nya! kan nyebelin,” kata ku sewot.
            “Hahaha, jadi gitu ya pak?” kata Viny sambil tertawa.
            Aku kemudian juga ikut tertawa, kejadian ini mengingatkan ku pada sebuah buku yang pernah aku baca, di dalam buku itu ada tiga ekor Beruang Somalia berbulu putih yang sedang dikejar-kejar oleh para pemburu. Pemburu-pemburu itu menggunakan senapan dan tombak yang terlihat sangat tajam, yang sepertinya bisa menembus benda apa saja yang dilaluinya.
Salah seekor Beruang terkena tembak di kakinya, kemudian dengan cepat Beruang dengan bekas luka di mata kiri menolong Beruang yang tertembak itu dan membawanya menjauh dari para pemburu itu. Sedangkan Beruang yang satu lagi mengorbankan dirinya untuk mengalang-halangi para pemburu itu. Akhirnya Beruang yang mengalangi para pemburu itu mati berkorban demi teman-temanya.


            Kami bertiga seperti tiga ekor Beruang Somalia berbulu putih tersebuh. Aku adalah si Beruang dengan bekas luka dimata kiri, Viny adalah Beruang yang kena tembak, dan Zoro adalah Beruang yang mati karena berkorban agar teman-temannya selamat. Dan anak-anak kompleks sebalah adalah para pemburu itu.
           




-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar